Senin, 28 Desember 2009

Kenangan Pempek Palembang

Pempek Palembang selalu menjadi makanan favoritku. Banyak sekali kenanganku bersama makanan ini. Dari aku masih SD hingga aku lulus kuliah di Bandung.

***

Masa-masa SD...

Sewaktu masih SD, aku memiliki tetangga sebelah yang keturunan Palembang dan tetangga depan rumah yang Palembang asli. Tetangga sebelahku adalah adik-kakak: Ferdi dan Yuli. Kami bertetangga sejak TK hingga kami semua usai kuliah. Ibu mereka berdua bisa membuat Pempek Kapal Selam, artinya ilmu membuat adonan Pempek sudah level tinggi. Kaga tahu sekarang anak-anaknya. (Sorry, Fer dan Yul!). Teman Turki saya pernah bilang "tidak ada makanan selezat buatan mama". Dan temanku benar! Pempek Palembang buatan tetangga sebelah rasanya enak, cukonya betul-betul pedas asli ala Sumatera Selatan. Aku sering mendapat Pempek Palembang mereka pada masa-masa tertentu, misalnya Lebaran, dll.

Tetangga depan rumah juga keluarga Palembang. Mereka membuat Pempek Palembang yang sesuai rasa asli Sumatera Selatan. Mereka membuka warung kecil. Aku sering membeli pempek buatan mereka, kira-kira seminggu atau dua minggu sekali. Kalau tak salah dan tak lupa, ada 4 anak tetangga depan rumahku: 2 cowo dan 2 cewe. Aku cuma ingat 1 cowo, Iwan dan 1 cewe, Pipit. Dua lagi kulupa. Aku ingat Pipit karena dia seumuranku dan karena kepadanya kubeli Pempek. Biasanya aku beli Pempek Kapal Selam. Mereka sekeluarga pindah ke kota lain ketika aku menginjak SMP.

Ferdi, Yuli, dan Pipit kira-kira berumur tak beda jauh denganku. Ferdi setahun lebih muda dariku. Yang lain sama denganku. Kami teman sepermainan. Masa-masa SD adalah masa-masa indah buat kami. Jaman kami SD dulu, kami sering naik sepeda bareng, kejar-kejaran, lompat tinggi, masak-masakan, dan semua permainan anak-anak. Kami mengeksplorasi dunia kami di sawah dekat kompleks, menangkap ikan di selokan, mencari kecebong, dll.

Aku ingat ketika ibuku pergi arisan RT. Ketika arisan ada sumbangan RT. Nampaknya waktu itu, ibuku bilang kalau beliau tak punya uang banyak kepada ibu-ibu tetangga satu RT. Jadinya sumbangannya dikit. Aku membeli Pempek Palembang kepada Pipit. Sayangnya, Pipit tak punya kembalian. Dengan polos dan lincah, dia pergi ke tempat arisan untuk berurusan dengan ibuku tentang uang kembalian. Ibuku jadi terlihat mengeluarkan uang banyak untuk membeli Pempek. Hahaha. Ibuku jadi malu karena "berbohong" di depan para tetangga. Kami, anak kecil, memang polos. Dunia kami seperti hutan rimba yang tak dipagari oleh kebohongan, entah bohong putih maupun bohong gelap.

Dunia kami terpisah ketika kami menginjak SMP. Pipit pindah rumah. Aku sekolah di SMP swasta sekitar ujung bawah Dago. Ferdi dan Yuli sekolah SMP negeri di sekitar Kebon Kelapa. Walau tetangga sebelah, kami sudah jarang bertemu lagi. Saya memiliki grup teman baru di SMP, begitu pula Ferdi dan Yuli. Begitu pula saat SMA, kami terpisah oleh kesibukan dan beda sekolah. Lalu kami kuliah. Saya kuliah di ITB, Ferdi kuliah di Politeknik Bandung (lalu ITS, Surabaya), dan Yuli di Unpad Jatinangor.

Setiap kali makan Pempek Palembang, aku terkenang lelucon sotoy Ferdi, senyuman Yuli, mata indah Pipit, dan tentu saja keramahan orang tua mereka. Pedasnya Pempek Palembang yang menusuk lidah, menyegarkan ingatanku akan sebagian masa kecilku yang indah ketika bersama mereka.

Ferdi dan Yuli bisa kukontak di Facebook. Sedangkan Pipit tidak bisa karena aku tak tahu nama panjangnya. Kenangan bersama Pipit terhampar jauh dari ruang, waktu dan memoriku. Yang tak bisa kulupakan adalah mata indah Pipit (dan sisanya lupa, hehehe). Aku kangen Pipit. Mungkin suatu saat bisa bertemu. Seluruh makrokosmos dan mikrokosmos berkonspirasi mendukungku

***

Masa-masa SMP dan SMA...

Ada beberapa tukang Pempek "Palembang" dekat sekolahku. Pertama, di jalan Sultan Agung dan kedua, di pasar Gempol. Keduanya sih lebih tepat disebut Pempek Bandung karena cuko Pempek rasanya tidak asli Palembang.

Pempek di jalan Sultan Agung adalah pempek murahan karena dijual murah untuk anak sekolah (Aloy) dari gerobak dorong. Seperti biasa, kandungan aci lebih banyak daripada kandungan ikan. Cuko pempek manis dan tidak pedas. Kalau mau nambah pedas, bisa tambahkan sambel (yang diulek).

Pempek di pasar Gempol sedikit lebih mendingan rasanya daripada yang di Sultan Agung. Kandungan ikan sedikit lebih mendingan. Cuko pempek juga tidak pedas dan rasanya lebih mirip saos rujak: manis dan rasa pisang.

Biasanya aku makan Pempek pasar Gempol ketika aku dan teman-teman nongkrong di Jalan Gempol Kulon. Di situlah rumah Arief, temanku sejak TK (taman kanak-kanak). Biasanya anak nongkrong lainnya adalah Hendrick Kowo, David, See Kian, dan Sun Hong, teman-temanku sejak SMP. OK, kadang-kadang ada tambahan Andre Tobing, Tjin Wan, dan Artino, ketika aku menginjak SMA.

Setiap kali aku makan Pempek Palembang, yang cukonya manis dan tak pedas, kenangan manis bersama kawan-kawanku ini selalu teringat. Hidupku tidak akan seperti sekarang tanpa mereka. Merekalah yang menemaniku di masa sekolah menengah. Perjalananku menjadi dewasa tak lengkap tanpa mereka.

***

SMP adalah masa aku merangkak menuju kedewasaan.
SMA adalah masa aku berjalan menuju kedewasaan.
Kuliah (masa mahasiswa S1) adalah masa aku naik sepeda menuju kedewasaan.
Sepatu roda? Gua kaga bisa naik sepatu roda.

OK, kuliah S2 mungkin adalah masa aku naik kendaraan bermotor menuju kedewasaan.
Kuliah S3 nanti, adalah masa aku terbang menuju kedewasaan sempurna.

***

Masa kuliah S1...

Ketika kuliah S1, aku dikenalkan oleh David, tempat Pempek Palembang terkenal di Bandung. Tempatnya jalan Rama. Ada dua tempat Pempek Palembang di sana. Dua-duanya enak. Pempek ini asli Palembang. Ikannya terasa.

Biasanya bahannya kiriman dari Palembang dan termasuk "mass production". Namanya Pempek Pak Raden. Pada kardusnya, ada foto merk Pak Raden.

Cuko Pempek di tempat ini ada 2 macam. Yang pertama pedas asli Palembang dan yang kedua tidak pedas supaya disesuaikan dengan selera orang Bandung.

Pemilik tempat makan ini juga kayanya bukan orang Palembang. Aku belum nanya sih. Jadinya aku tak tahu.

Makan Pempek Palembang mengingatkanku makan bareng David setelah fitness bareng, renang bareng atau sekadar jalan-jalan. David ini adalah orang yang mendidikku untuk mencintai hidup sehat dengan olahraga. Akibat rajin olahraga ini, selain fisikku sehat, mentalku juga sehat sehingga bisa menyelesaikan tugas akhir S1 dengan pikiran yang cemerlang. Men sana in corpori sano, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat.

OK, sesudah olahraga kemudian makan Pempek sebetulnya tidak sehat-sehat amat.

***

Margahayu Permai...

Setelah aku kuliah dan lulus, di kompleks perumahanku ada tukang Pempek dorong. Lumayanlah ada pengganti Pipit dan keluarganya yang biasa menjual Pempek. Seperti biasa, Pempek Bandung bukan asli Palembang rasanya kurang asoy. Aci lebih banyak daripada ikan. Tapi cuko Pempek lumayan terasa asli Palembang dengan rasa pedas yang dikurangi.

Makan Pempek Palembang bisa membuatku teringat masa-masa "Home Sweet Home" di Bandung, bersama Bapak dan Ibu. Saat itu juga ada binatang kesayangan yaitu nyamuk, hehehe, bukan maksudku 3 ekor anjing: Bambi, Waku, Boge.

Bambi adalah anjingku dari tahun 90 hingga aku kuliah. Aku lupa kapan matinya tetapi aku hadir saat pemakamannya. Waku dan Boge adalah anjingku dari tahun 95 hingga aku pergi ke Jerman. Mereka berdua mati ketika aku sedang di Jerman. Nyamuk adalah binatang yang sering bernyanyi ketika aku tidur sehingga aku terbangun lalu jadi olahraga singkat dengan raket listrik. Umur nyamuk biasanya seminggu doang. Lebih cepat mati ketika aku bermain raket listrik.

***

Masa kuliah S2...

Setelah April 2005, aku tidak pernah makan Pempek Palembang lagi. Aku meninggalkan Bandung dan bekerja "sebentar" di Semarang. Lalu April 2006, aku cabut ke Bremen, Jerman.

Selama meninggalkan Bandung itulah aku tidak makan Pempek Palembang. Hal ini membuatku merasa terkena kutukan Pempek Palembang. Seakan-akan seluruh alam semesta berkonspirasi membuatku terkutuk tidak bisa makan Pempek Palembang.

Aku menemukan cara untuk melawan kutukan ini. Caranya adalah menantang takdir dan mulai mengambil inisiatif. Kata Stephen Covey dalam buku "Seven Habits...", jadilah proaktif. Aku mengumpulkan beberapa kawan Perki Bremen untuk membuat Pempek Palembang secara gotong royong. Nama kegiatan itu adalah Workshop Pempek Palembang.

Alasanku berinisiatif dengan workshop ini berasal dari anjuran stress therapist bahwa meremas-remas adonan bisa menghilangkan stress. Aku senang bisa menggulung Pempek menjadi bentuk bola dan bentuk lenjer. Ternyata stress teredam bersama setiap remasan adonan dan dalam kebersamaan komunitas kecil pencinta makanan. Inilah yang namanya gotong royong ala Pancasila, seperti kata Bung Karno dulu. "Berdua lebih baik daripada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, ... Dan bilamana seorang dapat dialahkan, dua orang akan bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan" (bdk Pengkhotbah 4:9-12). Kesepianku berkurang seiring dengan kebersamaan kami dalam memasak dan menyantap Pempek Palembang.

Workshop ini, selain membebaskanku dari kutukan Pempek Palembang, juga seiring dengan proposal thesis yang diterima oleh Profesor dan supervisor. Jadinya aku sekarang resmi menjadi mahasiswa thesis dengan tenggat waktu mengumpulkan 3 buku thesis 1 Juni 2010.

Cara membebaskan diri dari kesepian, stress, kejombloan, kesialan, dll adalah dengan mengambil inisiatif. Bahasa Inggrisnya adalah "taking control of yourself". Bahasa Jerman adalah "Hand haben". Aku sial terus tidak bisa makan Pempek dan ketika aku punya niat plus dibantu oleh jaringan kawan, maka jadilah aku bisa makan makanan yang kurindukan selama ini. Jangan berharap seluruh alam semesta berkonspirasi membantumu jika kamu tidak punya inisiatif.

Workshop Pempek Palembang ini mengingatkanku pada tahun 2002 ketika aku berjuang mengentaskan kejombloan. Waktu itu, Si Doi susah banget diajak nonton bareng. Aku kan suka nonton dan Si Doi kaga mau nonton berdua. Aku mengambil inisiatif mengajak anak-anak Mudika St. Martinus Bandung untuk menonton Matrix Reloaded bareng. Pengen mengajak satu orang doang, terpaksa buang pulsa untuk mengontak satu gerombolan. Ternyata kebersamaan ini asyik, jadinya si Doi kaga kagok kalau mengobrol. Kalau nonton berdua doang mungkin si Doi bakal banyak diam malu-malu.

***

Banyak sekali kenanganku yang muncul ketika aku makan Pempek Palembang. Bersama kawan masa kecil, orangtuaku, kawan sekolah, mantan, kawan organisasi, semua anjingku, dll. Aku juga teringat bahwa dengan makan Pempek Palembang, aku bangkit dari kematianku untuk menjadi Condro yang memiliki tujuan hidup, punya inisiatif, dan punya kontrol atas diriku sendiri dalam menghadapi segenap tantangan hidup: kesepian, stress, naik-turunnya rasa percaya diri, dll.

Bagiku Pempek Palembang ini bagaikan roti Tubuh Kristus dalam Sakramen Ekaristi yang membuatku mengenang kebangkitan manusia dari kematian.

Kapan, ya, aku makan Pempek Palembang lagi?

Tidak ada komentar: