Sabtu, 24 Agustus 2013

Kicauan Republik Kelamin Mencari Perawan

Pada suatu hari, burung kuntul berkicau di Republik Kelamin. Ia berkicau tentang suatu test keperawanan. Karena burung kuntul merasa hal-hal kelamin lebih penting daripada kasus korupsi migas hasil ngecrot dari dalam bumi. Hal-hal kelamin ini juga lebih penting daripada mata uang Republik yang nilainya menurun bila dibandingkan dollar (dan mata uang Eropa).

Di Republik ini, Kelamin über Alles, seperti ramalan The PanasDalam. Selain meramal band ini juga bercerita tentang Cita-cita Republik Kelamin, dengan semboyan "Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Di mana ada kemaluan, di sana banyak persoalan".

OK, semboyan The PanasDalam sesungguhnya adalah "Argumentum in absurdum". Jadi Republik Kelamin ini betul-betul se-absurd tulisan ini. Dalam jurnalisme, kita kenal 5W+1H (what, where, when, who, why, how). Apa itu perawan? Apa itu test keperawanan? Di mana dan kapan perawan? Siapa perawan? Mengapa test keperawanan? Bagaimana test keperawanan? Akankah pertanyaan tersebut dijawab dengan absurd, mari baca posting ini lebih lanjut.

***

Artikel KOMPAS menyebutkan test keperawanan untuk masuk sekolah perlu dijadikan undang-undang oleh Zainal Alim, Sekretaris MUI Pamekasan.
Zainal mencari perawan

Jadi menurut Zainal, perlu ada sekolah untuk perawan dan sekolah lain untuk bukan perawan. Jadi perlu ada diskriminasi hak memperoleh pendidikan antara yang perawan dan yang bukan. Hal ini sebetulnya melanggar Pancasila sila ke-3 dan ke-5, UUD pasal  31 ayat 1, serta UU Sistem Pendidikan Nasional 2003.

Zainal juga mengasumsikan bahwa ada ahli keperawanan. Aku menduga Zainal dulu pernah masuk kuliah kedokteran, lalu mengambil spesialisasi di bidang kandungan, sistem reproduksi, ginekologi, dan semiripnya. Sehingga ia tahu bahwa dalam kedokteran, ada ahli keperawanan. Ia mengasumsikan bahwa ahli keperawanan tahu perbedaan antara deformasi selaput dara setelah mengalami hubungan seks, setelah kecelakaan, dan setelah olahraga.

***

Menurut Ayu Utami di Deutsche Welle, test keperawanan itu penghinaan martabat manusia.
Standar selaput dara yang perawan

Menurut Ayu Utami, test keperawanan berdasarkan selaput dara itu absurd. Secara teknis, harus ada standar selaput dara yang universal untuk menentukan bentuk ini perawan dan bentuk itu bukan. Aku jadi teringat era fasisme Hitler tahun 1930-an hingga 1940-an, ada suatu standar yang ini Jerman dan yang itu bukan, yang ini Yahudi dan yang itu bukan. Yang Jerman asli dapat akses pendidikan lebih dari yang bukan. Yang bukan Jerman asli, kadang dihabisi. Yang Yahudi juga dihabisi. Standar selaput dara menimbulkan fasisme perawan.

Selain itu, selaput dara bisa dioperasi pemudaan. Jadi wanita yang sudah berkali-kali berhubungan seks dengan banyak pria maupun berbagai mainan, bisa kembali memiliki selaput dara baru. Dengan asumsi perawan itu mereka yang memiliki selaput dara indah sesuai standar, wanita seperti ini bisa kembali "perawan". Aku pun ingin bertanya kepada Dewi Persik, gimana caranya operasi ini dan ingin melihat dengan mata sendiri bagaimana hasilnya.



***

Di Jurnal Perempuan, Mariana Aminudin berpendapat bahwa tes keperawanan itu kebodohan yang mempermalukan perempuan. Pada artikel tersebut, test keperawanan dilakukan dengan cara memasukkan dua jari ke dalam vagina perempuan. Aturannya cuma satu “Kalau jari saya mentok berarti masih perawan”.

Mitos selaput dara

Jika standar test keperawanan itu berdasarkan mitos, sekolah menjadi tidak lagi mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat UUD 1945. Metode colok 2 jari ini, juga bisa saja bersifat traumatis bagi perempuan. Siswi yang masih remaja harus deg-degan berbaris menuju suatu ruangan. Ia dipaksa oleh negara untuk mengangkang kemudian alat pribadinya dilihat orang asing, dipegang, dan dibuka dengan jari. Saat itu, vaginanya bukan miliknya lagi. Vaginanya dipegang dan ditusuk dengan jari dengan paksaan negara.

Sesungguhnya wanita yang diperkosa itu terjadi ketika tubuhnya direnggut paksa bukan atas kehendaknya sendiri. Dalam pemerkosaan, wanita kehilangan kontrol atas tubuhnya. Tubuhnya menjadi milik pemerkosanya. Dalam test keperawanan oleh negara, wanita pun merasakan kehilangan yang sama atas alat genitalnya. Tubuh jadi milik negara. Negara berhak mengobok-obok vaginanya tanpa peduli apa yang diinginkan perempuan yang memiliki vagina.

Test keperawanan jadi aturan hukum?

***

Adakah test keperawanan yang tidak perlu mengobok-obok vagina?

Seperti yang diceritakan Om Anton, dulu ada test keperawanan menurut Soekarno. Test ini berhubungan dengan simetri pentil payudara.

Test keperawanan seperti di atas juga sebetulnya mitos. Penjelasan rasionalnya, pentil yang di bawah garis mungkin terjadi karena wanita tersebut telah mengalami fase hamil dan kemudian menyusui. Biasanya wanita hamil itu tidak perawan, di zaman Soekarno. Zaman sekarang, ada inseminasi buatan, jadinya wanita bisa saja hamil tanpa berhubungan seks. Metode Soekarno tersebut juga gagal diterapkan di masa kini, karena penemuan push-up bra.

Pesanku tentang push-up bra adalah "Wanita yang percaya diri adalah wanita yang menonjolkan kelebihannya, bukan melebihkan tonjolannya."

***

Bukan hanya Soekarno yang mencoba membuat teori keperawanan tanpa mengobok-obok vagina. Males Banget dot com juga mencoba membuat test keperawanan berdasarkan kuis. Menurut Test Keperawanan MDBC ini, tidak bisa kuketahui apakah aku perawan atau tidak. Semoga hasil test ini tidak ada hubungannya dengan bencana toilet yang kualami waktu itu.

***

Kupikir-pikir isu keperawanan di Republik Kelamin ini hanyalah suatu bentuk "escape from reality" alias pengalihan isu dari kenyataan adanya kasus korupsi Migas yang mungkin melibatkan partai penguasa dan adanya penurunan nilai mata uang yang menunjukkan gejala awal krisis ekonomi.


***
Mari kita dendangkan kicauan absurd Republik Kelamin. 
Tiada yang lebih logis daripada sarkasme.












***

Di mana ada kemauan, di situ ada jalan.
Di mana ada kemaluan, di sana banyak persoalan.


***

Bremen, 23 Agustus 2013

iscab.saptocondro

Disclaimer:
Tulisan "Republik Kelamin Mencari Perawan" ini tidak memiliki hubungan dengan acara "Indonesia Mencari Bakat"

Senin, 15 Juli 2013

Empat tahun telah berlalu

Empat tahun yang lalu, aku dihadapkan pada suatu kenyataan yang membuatku merenungkan tujuan hidupku. Aku merenungkan mengenai untuk apa aku hidup, di mana rumahku, menjadi apa aku ini, ke mana aku melangkah, dan segenap pertanyaan tentang makna hidup dan jati diri. Tahun ini, aku berada di persimpangan lagi karena dihadapkan kenyataan lain yang membawaku kepada perenungan yang sama.

Tahun lalu, aku pergi ke Indonesia, mudik menemui ayah dan bunda. Aku merasa bahwa aku harus kembali ke akar, untuk menemukan jati diriku, dari mana aku berasal. Aku ingin mendapatkan suatu jawaban masihkah Bandung rumahku. Banyak sekali perubahan selama 6 atau 7 tahun meninggalkan Bandung. Rumahku berbeda (bangunan dan suasana). Kawan-kawanku memiliki dinamika sosial yang berbeda. Di Bandung, aku pun tak menemukan jawaban, di mana rumahku. Yang tersisa hanyalah suatu kerinduan menemui keluargaku dan teman-temanku, tempatku bertumbuh.

Tahun ini, aku kembali ke Bremen. Kota ini seperti rumahku yang lain, setelah kutinggalkan sejenak. Pada mulanya aku gembira bisa bertemu kawan-kawan lama di Bremen. Bahkan beberapa orang yang telah meninggalkan kota ini, kembali lagi untuk melanjutkan studi doktoral. Sesaat aku merasa bahwa aku memiliki suatu takdir di kota ini. Walau dinamika sosialnya berbeda dengan orang-orang baru, untuk sesaat aku merasa Bremen bisa menjadi rumahku.

Akan tetapi, pada suatu hari di musim semi, aku membuka apartemenku di Bremen. Ada perasaan aneh melingkupi diriku. Ada yang salah dengan rumahku. Suatu firasat mengatakan bahwa kota ini bukan rumahku. Aku merasakan bahwa aku harus bergerak dan berkelana. Di kantor di Bremen, aku pun merasakan ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang mengatakan bahwa pekerjaan di sana bukan untukku dan aku bukan menjadi diriku. Tak berapa lama kemudian, aku dinyatakan pada kenyataan yang mengonfirmasikan intuisiku.

Kini aku dihadapkan suatu pertanyaan eksistensialis yang sama dengan empat tahun lalu. Apakah aku berada di jalan hidup yang tepat untukku? Di saat itu, aku kehilangan sebagian jati diriku, yang mendefinisikan tujuan hidupku dalam karir dan cinta. Kini aku pun merasakan kehilangan yang sama. Aku pun harus kembali menata hidupku dan menemukan "meine Bestimmung" (apa yah terjemahan Bahasa Indonesianya?).

Aku mulai mempertanyakan siapakah kawanku, apakah aku memiliki sahabat, apa makna jejaring sosial bagi diriku, apa makna diriku bagi kawan, keluarga dan jejaring sosial yang kumiliki. Aku melihat apa saja yang dikerjakan kawan-kawan di Indonesia, di Jerman, terutama Bremen, dll. Apa pilihan karir mereka? Bagaimana mereka berkeluarga di tempat masing-masing? Kemudian kubandingkan dengan diriku, dengan mereka. Bagaimana jika aku hidup, bekerja dan bekeluarga, di tempat mereka? Jakarta? Bandung? Bremen? Singapura? Australia? Belanda? Swiss? USA?

Aku pun bertanya kepada kawan-kawan yang dekat di hatiku. Bagaimana awalnya mereka memilih pilihan karir mereka, baik industri maupun akademesi. Bagaimana pengalaman memilih bidang studi dan topik penelitian. Kini aku mengerti apa makna jejaring sosial yang kumiliki. Ternyata mereka memberiku cermin. Aku belajar mengenai apa saja yang bisa aku kerjakan, apa saja pilihan karir yang bisa kupilih, dll. Aku merasa mendapatkan secercah cahaya inspirasi, bahwa aku bisa bekerja di mana saja namun aku harus siap berkelana lagi.

Yah, aku harus bergerak. Aku harus mengembara. Rumahku adalah planet bumi. Aku tidak boleh terikat pada satu tempat dan satu jejaring sosial dengan ikatan geografis. Aku belum tahu ke mana, namun aku meraih segenap kesempatan untuk menemukan makna hidupku.

Empat tahun telah berlalu. Saat itu, adalah satu hari di mana kekuatiran lenyap setelah setahun sebelumnya aku hidup terombang-ambing. Hari itu jiwaku seperti dibersihkan dari segenap emosi negatif. Perasaanku seperti suatu cangkir berisi air kotor, kemudian dalam sehari isi cangkir tersebut dibuang dan dikosongkan. Cangkir kosong tersebut siap diisi dengan sesuatu yang baru. Perasaanku kini mirip empat tahun lalu, aku merasakan kehampaan yang sama bagai cangkir kosong. Aku siap menyambut suatu pembaharuan dalam hidupku.

Hari ini, aku memperingati kehampaan ini. Aku tak tahu akan ke mana. Namun aku merasa dalam waktu dekat akan ada suatu perubahan besar dalam hidupku yang memberi jawaban akan pertanyaan makna hidupku. Diriku diliputi perasaan penuh rasa syukur atas segenap pengalaman hidup dan jejaring sosial di berbagai kota di Indonesia, Jerman, dll. Aku yakin pengalaman dan kawan baru akan kudapatkan dalam langkah selanjutnya dalam perjalanan hidupku. Jiwaku merasa dipenuhi dorongan untuk bergerak menyambut setiap kesempatan bagaikan menghadapi suatu hadiah kejutan (surprise) dari Semesta. Surprise me, oh, Universe!


Empat tahun berlalu, dalam suatu kehampaan jiwa dan kepenuhan syukur, aku pun bertanya akan ke mana. Lagu Diana Ross "Do you know where are you going to?" pun menemaniku dalam perenungan ini.




Bremen, 15 Juli 2013

iscab.saptocondro

Selasa, 09 Juli 2013

Topik menarik blogku, 9 Juli 2013

Hari ini, aku melihat topik apa saja yang dibaca orang dari blog iscab milikku. Gambar berikut menjelaskan kategori dan tag apa saja yang menarik dari blogku.


Topik populer, 9 Juli 2013


Ternyata orang lebih berminat membaca tulisanku yang serius. Aku memang tidak berbakat untuk melucu. Tulisanku yang absurd tidak menarik untuk dibaca. Akan tetapi banyak yang mencari kuntilanak merah di Bayern dengan bernyanyi lagu lingsir wengi. Pembaca sedang tertarik tulisanku tentang wisuda di ITB, mungkin karena akhir minggu ini ada acara itu di sana. Topik tentang cinta termasuk hal yang dibaca orang dari blogku. Aku bingung kenapa tulisanku tentang Bremen tidak semenarik Bayern.

Aku pun merenung. Sepertinya supaya tulisanku menarik, aku harus menulis hal serius, contohnya politik dan filsafat. Kemudian ada tulisan selingan tentang cinta. Tentu saja, bukan tentang bercinta dengan kuntilanak merah, walaupun itu topik populer sementara ini. Aku pun teringat petuah, "Rajin-rajinlah menulis karena writing tresno jalaran soko kulino".

Bremen, 9 Juli 2013

iscab.saptocondro

Minggu, 30 Juni 2013

Ngarso Madyo Wuri, akhir Juni 2013

Dulu aku teringat Sabda Mbah Gossip ketika meninggalkan Bremen.
Ing ngarso Signal Processing. Ing madyo Matematiko. Tut Wuri Control Engineering.

Kemudian aku bertemu Mbah Gossip lagi ketika mendendangkan lagu untuk kuntilanak di Bayern.
Ing ngarso Sepulturo. Ing madyo Metallico. Tut Wuri Obituary.

Sekembalinya ke Bremen, Mbah Gossip pun berkicau.





Kicauan Mbah Gossip ini menghiburku setelah seluruh sel otak dalam kepalaku terbakar menghadapi pertanyaan wawancara untuk penelitian pengolahan sinyal otak dan suara. Entah hasilnya seperti apa. Kutunggu jandamu, eh, kutunggu hasilnya seminggu kemudian.


Bremen, 30 Juni 2013

iscab.saptocondro

Senin, 17 Juni 2013

Belajar singkatan 2013

Berhubung aku kurang gaul, kali ini aku belajar singkatan-singkatan penting. Dengan belajar hal ini, kuharapkan aku bisa lebih baik dalam berkomunikasi, baik dalam obrolan ringan hingga dunia perjodohan. Singkatan-singkatan ini kupelajari setelah membaca males banget dot com.

***

saptocondro: "Apa itu PHP?"
iscab: "Pemberi Harapan Palsu"
saptocondro: "Oh, jadi bukan Personal HomePage atau PHP: Hypertext Preprocesor, yah?"
iscab: "Bukan!"
saptocondro: "Oh, pantas aja, gua bingung kenapa cewek suka galau gara-gara bahasa pemrograman PHP. Gua kira para PHP programmer dan webdesigner bikin cewek jadi galau. Untung gua cuma tahu MATLAB, C++ dan Python doang"

***

saptocondro: "Apa itu PHO?"
iscab: "Perusak Hubungan Orang."
saptocondro: "Oh, jadi bukan PHO yang nama masakan Vietnam, yah?"
iscab: "Bukan!"
saptocondro: "Oh, pantas aja, gua bingung kenapa mie kuah ala Vietnam dibenci sama orang korban tikungan. Padahal Pho Bo kan enak, bo!"

***

saptocondro: "Apa itu PK?"
iscab: "Penjahat Kelamin."
saptocondro: "Wah, aku kira PK itu nama partai politik."
iscab: "Bukan!"
saptocondro: "Nah, kalau PKS itu singkatan apaan?"
iscab: "..."

***

Pelajaran singkatan gaul belum usai. Aku masih perlu banyak belajar demi pergaulan. Tunggulah hasil belajarku berikutnya.


Bremen, 17 Juni 2013

iscab.saptocondro

Minggu, 09 Juni 2013

Padamkan mataku

Tiga tahun lalu, di miliscab, aku pernah menulis tulisan di bawah ini.

***

Padamkan mataku, aku tetap bisa melihatmu,
Sumbatlah telingaku, aku tetap bisamendengarmu,
dan tanpa kaki, aku masih bisa menuju dirimu,
dan tanpa mulut, aku masih dapat memohon padamu.
Putuskan tanganku, aku tetap memegangmu
dengan jantungku bagaikan dengan tanganku,
Remaslah jantungku, dan otakku akan tetap berdetak,
dan lemparkan bara dalam otakku
maka aku akan tetap membawamu dengan darahku.

Puisi di atas adalah karya Rainer Maria Rilke (1875-1926).
Puisi ini salah satu hal yang menginspirasi diriku untuk pergi merantau ke Jerman.
Dalam hidup, cinta, dan studi selalu ada banyak tantangan. Terimalah tantangan sebagaimana adanya.
Melarikan diri dari tantangan sudah kulakukan berkali-kali. Begitu juga menghadapinya dengan tegar.
Jangan terlalu kecewa ketika semua rencana berantakan. Itu bagian hidup yang harus dilewati.

Jangan terlalu kecewa ketika rencana studi 2 tahun berantakan karena tiba-tiba di tengah jalan lentera jiwamu padam.
Entah karena kamu lupa bawa korek atau karena angin dingin bertiup memadamkan lenteramu.

Jangan terlalu kecewa ketika bangun di pagi hari di hari ulang tahun menerima surat pemecatan dan di sore hari di hari yang sama, kekasihmu pergi bersama yang lain dan memutuskan tak dapat bersamamu kembali.

Jangan terlalu kecewa ketika kau tak dapat masuk ke dalam taman hati orang-orang yang kaucintai. Mungkin memang belum saatnya opening hour, hahaha.

Jangan terlalu kecewa ketika kau pindah jurusan karena mereka tak bisa meluluskanmu. Mungkin jurusan baru lebih cocok untuk membuat bunga dalam taman jiwamu mekar berseri. Daripada jurusan lama yang penuh semak belukar menghimpit bunga tersebut. Kadang-kadang dibutuhkan keberanian lebih besar untuk mengakui kegagalanmu daripada perjuanganmu melawan kegagalan.

Jangan terlalu kecewa ketika kau kesepian. Percayalah bahwa banyak orang kesepian di sini. Tapi mereka terlalu malu mengakuinya. Mungkin kebersamaan kita tak cukup menyembuhkan rasa sepimu, tapi percayalah bahwa kesepian tidak bisa disembuhkan sendirian. Kamu juga patut berterimakasih kepada mereka yang memberimu kesibukan beserta deadline-deadline, karena itu bisa membuatmu lupa sejenak akan kesepian.

Jangan terlalu kecewa kalau aku dan teman-temanmu tidak ada untukmu ketika kamu membutuhkan. Kau tahu, kami juga punya kesibukan masing-masing. Percayalah bahwa kamu selalu memiliki tempat di hatiku dan sedikit waktu di jadwalku.

Jangan terlalu kecewa ketika kau buka matamu dan tak kaulihat masa depan. Tunggu sejenak dengan sabar, percayalah bahwa kamu bisa menemukan korek api di kantong hatimu untuk menyalakan lentera jiwamu. Jangan takut akan kegelapan lalu panik mengikuti lentera orang lain. Apa yang cocok buat mereka belum tentu cocok buat dirimu.

***

Cukup sudah basa-basinya. Kembali ke puisi Rilke.
Terjemahan tidak pernah seindah puisi asli.
Puisi asli ada di bawah ini, judulnya "Lösch mir die Augen aus".


Lösch mir die Augen aus: ich kann dich sehn,
wirf mir die Ohren zu: ich kann dich hören,
und ohne Füße kann ich zu dir gehn,
und ohne Mund noch kann ich dich beschwören.
Brich mir die Arme ab, ich fasse dich
mit meinem Herzen wie mit einer Hand,
halt mir das Herz zu, und mein Hirn wird schlagen,
und wirfst du in mein Hirn den Brand,
so werd ich dich auf meinem Blute tragen.


Selamat Hari Minggu!
Walau kelabu, senandung rindu tetap membawaku ke langit biru.


Condro

***

Tulisan di atas ditulis di hari Minggu, 14 Maret 2010, ketika cuaca Bremen masih mendung. Saat itu, aku sedang mengandung anak rohani, yang kuberi nama Thesiscab Masterindu Sinyalia. Segenap kegalauan kuterima dengan keikhlasan dan telah kupersembahkan kepada anak rohaniku yang tampangnya kaga cantik maupun ganteng, tapi lumayanlah ia telah lahir.

Tulisan tersebut juga menginspirasiku 9 hari yang lalu untuk membuat posting tentang Rilke di blog berbahasa Jerman milikku: Lösch mir die Augen aus. Setelah lebih dari tiga tahun berlalu, kubaca tulisanku lagi. Aku teringat bahwa perjuangan masih panjang. Akupun ingin hamil lagi. Kali ini aku ingin memiliki anak rohani yang lain. Semoga kali ini, ia ganteng atau cantik.



Oh, ya, hari ini hari Minggu dengan langit biru terang dan sedikit berawan. Tidak kelabu.
Walau berhenti sejenak di persimpangan, aku tahu Dharmaku akan membawaku ke mana.


Bremen, 9 Juni 2013

iscab.saptocondro

Senin, 29 April 2013

Dharma

Hari ini kudapat aliran data dari seorang kawan DAAD di Facebook Wall, eh Timeline, milikku.
Penyanyi pengen jadi caleg, Presidennya pengen jadi penyanyi. 
Akupun tersenyum. Penyanyi ingin jadi politisi dan politisi ingin jadi penyanyi.  Mengapa mereka tidak serius jadi penyanyi profesional? Suara mereka kan lebih merdu dalam dendang daripada dalam rapat-rapat politik. Mengapa mereka tidak jadi politisi profesional? Berpolitik setengah hati inilah yang membuat negara menjadi setengah negara.

Aku kembali tersenyum. Hal ini mengingatkanku masa-masa aku terombang-ambing dahsyat dalam menentukan tujuan hidupku. Sebetulnya saat ini juga aku masih bingung ingin jadi apa aku. Walau ketidakstabilannya tak sedahsyat dahulu.

Aku suka mengajar. Aku selalu merasa Dharmaku di sana. Aku pernah jadi guru les privat dan di tempat kursus, semasa kuliah S1 di Bandung. Selulus kuliah, aku pernah menjadi pengajar di SMA dan juga di universitas. Kusangka aku akan jadi seorang pengajar.

Karena kebetulan aku memilih jurusan Teknik Elektro, aku ingin jadi dosen jurusan tersebut. Karena kebetulan juga aku memilih Teknik Kendali. Aku ingin mengajar hal-hal yang berhubungan dengan Kontrol. Kebetulan lagi, aku mendapat beasiswa DAAD, hingga bisa kuliah ke Jerman. Karena kebetulan aku pernah kursus bahasa Jerman, kuberanikan diri mengambil kesempatan ini. 

Kenapa kusebut kebetulan? Karena aku tak tahu kenapa aku memilih Teknik Elektro. Seingatku, aku memilih jurusan ini di menit-menit terakhir mengantri mengumpulkan formulir UMPTN di GSG ITB. Aku juga tak tahu kenapa memilih Teknik Kendali. Seingatku, ini karena menghindari pilihan Elektronika, "Arus Kuat", dan "Telkom". Aku juga tak tahu kenapa kursus bahasa Jerman di Goethe Institute Bandung. Aku membiarkan hidupku mengalir begitu saja. Kata orang yang beriman, kubiarkan takdir membawaku mengikutinya.

Akan tetapi, hidup tanpa tujuan akan membawa bencana. Tantangan kehidupan akan selalu menghadang. Kuliah S2 di Jerman ternyata membuatku merenungkan ulang tujuan hidupku. Topik yang kupilih, yaitu Robotika, ternyata bukan hal yang cocok untukku. Aku dihadapi kebimbangan antara mengganti topik atau tetap bertahan. Jika ganti topik, aku harus memulai dari nol. Jika bertahan, aku sudah terlalu letih dalam topik yang rumit dan tak cocok. Selain itu, aku harus kembali ke Indonesia karena ikatan dinas. Jika aku kembali tanpa gelar, aku akan diinjak-injak rekan kerja. Jika aku memiliki gelar, ada kemungkinan butuh waktu tambahan, dan aku tak tahu nasib pekerjaanku. Kebimbangan yang lama.

Suatu hari, aku bertemu seorang peramal. Dia berkata kalau aku akan menjadi manusia super. Akan tetapi, aku harus mengatasi kebimbanganku ini. Kata-kata dan intonasi peramal ini begitu menyentuh hatiku. Mata kami berdua saling mengerti makna yang tak terucap dari kata-katanya. Tiba-tiba aku seperti melihat cahaya, dan aku mulai tahu harus berjalan ke mana.

Aku membuang topik lama. Aku mulai dengan sesuatu yang baru. Baru saja kumulai, aku menerima hadiah ulang tahun di pagi hari: surat pemecatan (tulisannya: surat usulan pemecatan). Kemudian di siang hari, aku mau curhat dengan dengan wanita yang dekat di hatiku. Wanita inilah yang selalu membuatku memiliki harapan untuk kembali ke Indonesia. Ternyata ia bersama pria lain, kekasih barunya. Aku pun remuk redam.   Aku melihat tujuan hidupku menjadi dosen di Indonesia hancur sudah. Aku kehilangan alasan untuk kembali ke sana. Tatapan mataku pun kosong.

Aku pun pergi keluar. Aku ingin melihat langit biru. Kuhirup udara kota Bremen. Aku rindu akan pelukan udara kota Bandung dan ingin sekali kuhirup udara malam Bandung yang romantis. Namun kerinduan ini sepertinya takkan kurasakan kembali. Tempatku di Jerman dan harus kuselesaikan Dharma Mahasiswa. Aku harus menyelesaikan studi sebagaimana Arjuna harus turun ke medan Kurusetra setelah mendapatkan Bhagawad Gita. Hari itu, akupun nonton Harry Potter sendirian di bioskop. Aku ingin melupakan semua masalahku pagi hingga sore. Sepulangnya akupun tertidur, kulepaskan penat dan ruwet, dengan harapan esok yang lebih baik.

Aku bangun dengan segar. Segenap kekhawatiranku hilang. Aku bangun dengan penuh tanda tanya. Namun tanda tanya ini tidak menyiksaku seperti dahulu. Tanda tanya ini malah mendorongku untuk maju. Aku jadi senang belajar hal baru. Aku ikut seminar dan kelas "creative writing", manajemen waktu, "stress management", dll. Aku mengganti topik. Aku mengerjakan dengan semampuku. Walau topik ini tidak terlalu menyenangkanku, namun aku berusaha menyelesaikan semampuku. Yang penting lulus. Setelah itu, gimana nanti.

Ketika aku lulus master, aku dihadapkan kebimbangan. Pekerjaan apa yang kuinginkan? Programmer? Electrical Engineer? Automation Engineer? Ph.D. student? Peneliti? Di Jerman atau di Indonesia?
Pada wawancara pekerjaan programmer, aku tidak bisa menjawab apa itu polymorphisme.
Pada wawancara pekerjaan engineering, aku tidak bisa menjawab power spectral density juga tentang motor listrik.

Setelah melalui beberapa wawancara, akupun akhirnya bisa bekerja di perusahaan outsourcing "M". Kemudian aku disewakan kepada perusahaan outsourcing "H". Perusahaan ini menyewakanku kepada perusahaan "S" di Herzogenaurach, Bayern. Aku pun bekerja sebagai Test Engineer. Aku pun bekerja sambil membawa pertanyaan, apakah ini pekerjaan yang cocok buatku. Pertanyaan kusimpan, aku bekerja semampuku dan belajar banyak hal baru. Semakin lama kusadari bahwa pekerjaan ini tak cocok buatku. Setelah 1 tahun dan 4 bulan,  kontrakku tak diperpanjang. Aku lega karena aku tak perlu lagi mengerjakan hal-hal yang tidak mengembangkan diriku menuju Dharmaku.

Perusahaan "M" membawaku wawancara ke sana dan ke sini. Akupun dijual kepada perusahaan "D" di Bremen. Aku menjadi engineer. Aku harus belajar lagi banyak hal baru di tempat kerja baru. Akupun kembali ke kota Bremen dengan orang-orang yang berbeda dengan dahulu. Aku juga tak lagi sama. Aku menyimpan pertanyaan tentang tujuan hidup. Apakah menjadi engineer di Jerman adalah Dharmaku? Apakah Bremen rumahku? Apakah ini pekerjaan yang cocok?

Oh, ya, aku juga sempat cuti ke Indonesia tahun lalu. Bandung kini berbeda dengan dahulu. Namun udara malamnya masih romantis, sih. Lebih panas, tapi udara malamnya masih memelukku penuh cinta. Aku melihat geliat ekonomi dalam perjalanan sepanjang Jakarta dan Bandung. Makanan yang biasa kumakan di Jerman, ada semua di Bandung. Akupun bertanya, apakah rumahku di Indonesia. Haruskah kukembali? Jika aku kembali, mau jadi apa?

Perjalananku mencari jati diri belum selesai. Aku tak tahu mau jadi apa, tapi aku tahu tidak mau jadi apa. Dharmaku bukanlah menjadi politisi. Juga bukan jadi penyanyi. Walau ada tawaran jadi caleg, aku merasa bahwa aku tidak memiliki akar politik yang kuat dan takkan mungkin bertahan jadi politisi yang profesional dan jujur. Jadi penyanyi pun tak mungkin karena aku cacat irama. Walau begitu, aku mulai berpikir menjadi eDJ, yaitu DJ abal-abal yang mengandalkan software di laptop dan tidak memakai piringan vinyl seperti DJ sejati. Hehehe.

Dharmaku sebagai pengajar, kulampiaskan dengan berbagi di blog. Kalau cukup bahan dan ilmu, mungkin aku akan membuat buku. Dharmaku sebagai pecinta engineering, kujalankan sebaik-baiknya dalam pekerjaanku sebagai engineer. Dharmaku sebagai musisi, kuejawantahkan dengan rajin bernyanyi di kamar mandi (haha). Dharmaku sebagai seorang aficionado dalam sosial politik, cukup kutuangkan dalam tulisanku di blog saja, kaga perlu jadi anggota parlemen. Dharmaku sebagai pecinta sains, kubiarkan hidup dalam diskusi-diskusi bersama kawan-kawan  di Bremen yang sedang menempuh studi doktoral.

Bagaimana dengan Dharmaku sebagai pejuang cinta?
Untuk itu, aku masih mencari wanita pembawa minyak. Kuyakin minyak yang dibawanya adalah minyak sakti yang bisa menyalakan lentera jiwaku hingga terang-benderang dan penuh kehangatan.


Ini lagu lentera jiwa dari Nugie.
Silahkan dinikmati.

Bremen, 28 April 2013

Minggu, 21 April 2013

Jejaring sosial: Maya dan Nyata

Dulu aku pernah menceritakan awal mula aku menggunakan perangkat jejaring sosial online, pada artikel "A Friend for a Click or a Click for A Friend?" Pada tulisanku, aku masih belum mengenal perangkat genggam cerdas, sebagaimana smartphone Android milikku kini. Saat itu, kuakses online social network service melalui komputer. Saat itu, kukenal (hanya) Friendster, StudiVZ, Facebook, Multiply, serta KTCommunity.

Kini Friendster tak pernah kubuka dan ia telah bangkrut sebagai penyedia jasa jejaring sosial online. Sebagian datanya dihapus Friendster dan sebagian lagi kupindah ke Facebook dan Blogspot. Multiply kuhapus karena fungsinya tak sesuai keinginanku. Oh, ya, Multiply pun menghapus data penggunanya dan pindah haluan bisnis sebagaimana Friendster. StudiVZ  dan KTCommunity jarang kubuka karena terlalu "Jerman".

Seiring berjalannya waktu, aku menambah jejaring sosial lainnya: Twitter, Plurk, Flickr, Instagram, Path, LinkedIn, Xing, dll. Sebagian untuk "haha hihi". Sebagian untuk alasan profesional. Semenjak aku bekerja jadi tukang insinyur, aku sanggup memmbeli perangkat genggam untuk menggantikan semua handphone rusak dan quasi-rusak milikku. Tentu saja alat genggam ini harus cerdas dan bisa internet. Aku pun kini memiliki aplikasi untuk jejaring sosial tersebut. Jadi social network dalam genggaman, deh.

***

Apakah ada perbedaan antara jejaring sosialku di dunia nyata dan maya?
Apa perbedaan kawan di jagad online dan di dunia nyata?
Apa makna perkawanan? Mengapa harus berteman?
Apakah kita teman? atau kolega? atau sekedar pernah kenalan?
Mengapa mereka tidak meng-unfriend diriku walau aku cukup "annoying" dan bikin kebisingan di Facebook?

Banyak sekali pertanyaan di dalam benakku. Aku bertanya seperti ini karena aku merasakan kehilangan makna akan teknologi jejaring sosial ini. Aku sudah tidak tahu siapa temanku yang sesungguhnya. Semua yang kulihat hanyalah aliran data, gambar, tulisan, video, dan tautan. Aku tidak bisa merasakan kemanusiaan dan pertemanan dalam teknologi ini.

Kini akupun merenung, mengapa aku masih menggunakan teknologi ini. Pada dasarnya aku cukup puas dengan telpon dan SMS untuk mengobrol jarak jauh dengan sahabat dan keluarga. Lebih asyik lagi kalau bikin acara bareng: makan-makan, nonton, jalan-jalan, dll. Jadi ada pertemuan fisik yang sesungguhnya.

Kucoba kembali ke awal mula menggunakan teknologi tersebut.

  • Friendster, diperkenalkan oleh kawan dekatku, Arief, di Bandung, Indonesia tahun 2004. Isi jejaringnya ialah teman dekat, kawan sekolah, kawan kuliah, murid-murid yang pernah kuajar.
  • StudiVZ, diperkenalkan oleh teman kos di Bremen, Jerman tahun 2006. Isi jejaringnya ialah orang-orang yang kukenal di Jerman, terutama Bremen.
  • Facebook, awalnya kupakai untuk ikatan silaturahmi dengan para Erasmus Student. Kemudian karena bentuknya semakin lama semakin menarik, kawan-kawanku di Friendster dan jejaring milis kutambahkan ke sini. Oh, ya, Facebook memiliki kemudahan untuk disambungkan ke jasa online social network lainnya.
  • LinkedIn, aku diperkenalkan Arthur Purnama di tahun 2007. Aku memakai ini untuk alasan profesional. Urusan mencari kerja, gitu loh.
  • Xing, juga untuk urusan profesional. Tapi ini terlalu Eropa-sentris (baca: Jerman).
  • Twitter, awalnya kupakai karena bisa disambung ke berbagai jasa lainnya. Kini Twitter sudah pernah kusambung ke StudiVZ, Facebook, LinkedIn, Wordpress, dll serta juga e-learning kampus Uni Bremen. Semenjak menggunakan perangkat genggam, aku mulai mengerti kelebihan Twitter (baca juga GBT ini).
  • Path, diajak kawan dekatku, Andre Tobing, ketika aku mudik ke Bandung, Indonesia tahun 2012. Karena jumlah teman dibatasi cuma 150 orang, jadinya aku mulai merenung siapakah sesungguhnya temanku.
  • Online social network lain tidak kusebut karena jarang kupakai. Sebagian diperkenalkan oleh kawan maya maupun nyata. Sebagian kupakai terus, misalnya untuk mencari penginapan (Couchsurfing) atau karena untuk baca artikel harus dipaksa jadi anggota dan selalu login. Sebagian tidak kupakai lagi.
  • Blog yang kupakai seperti Blogspot dan Wordpress, sebetulnya memiliki kemampuan jejaring sosial. Namun kemampuan ini tidak kutekankan penggunaannya. Aku menggunakan blog untuk menulis, sesuai hobiku.

Kini kusadari bahwa mayoritas isi jejaring sosial di jagad maya adalah orang yang pernah kutemui di dunia nyata. Namun kawan-kawan terdekatku di Bandung, juga keluargaku di Indonesia, bukanlah orang-orang yang banyak berinteraksi di dunia maya (Facebook, Twitter, dll). Menghubungi mereka pun harus lewat telpon. Kawan-kawan terdekatku di Bremen mengobrol dengan nyaman jika kami bertemu fisik bukan di layar monitor komputer maupun perangkat genggam. Apalagi kalau mereka masak, betul-betul lezat.

Hanya kawan-kawan dekat (dan orang-orang yang ingin kudekati), yang mampu meyakinkanku untuk menggunakan jasa online social network terbaru. Aku hanya tergerak oleh kawan-kawan yang dekat di hatiku. Sesudah diajak mereka untuk memiliki akun, aku hanya terikat pada jasa yang memudahkan hobiku: membaca, mencatat, menulis, dan berbagi. Facebook dan Twitter begitu pintar untuk terhubung dengan blogku.

Kupikir-pikir, aku menulis ini karena kangen kawan-kawanku di Bandung dulu. Oh, ya, aku juga belum bertemu saudara-saudara dan keluarga besarku selama 7 tahun lebih dikit. Kurenungkan pula, akhir-akhir ini, aku menjadi Lone Wolf. Aku hidup sendiri dan tidak tahu ingin ngomong apa kalau bertemu kawan di dunia nyata maupun jagad maya. Isi Facebook dan Twitter dariku hanyalah kebisingan. Interaksi denganku hanyalah bunyi-bunyian tidak penting. Mending aku menjadi pendengar (dan pembaca) yang baik aja.

Hidupku semakin absurd dengan teknologi jejaring sosial. Setidak-tidaknya aplikasi jejaring sosial online membantuku di toilet ketika aku menunggu kejatuhan mereka yang melekat hangat di pantat.
Absurdiscab, iscab yang absurd.


Bremen, 21 April 2013

iscab.saptocondro

Jumat, 12 April 2013

Fans berat Susilo Bambang Yudhoyono

Banyak orang tahu kalau Partai Demokrat didirikan sebagai SBY Fans Club. Partai ini didirikan di hari ulang tahun Susilo Bambang Yudhoyono, disingkat SBY, yaitu 9 September 2001 (wiki: id,en,de). Sejarah yang lebih detail bisa dilihat dari situs resminya. Oh, ya, di situs tersebut tampang gantengnya dipasang bersebelahan dengan tulisan Partai Demokrat, ketika tulisan ini dibuat. Partai ini adalah suatu manunggal kawulo Demokrat lan Gusti SBY.

Pada tahun 2004 dan 2009, SBY ganteng dan disukai ibu-ibu. Ia lulus program doktoral dari Institut Pertanian Bogor (IPB), tahun 2004, setelah mempertahankan thesisnya di bidang ekonomi pertanian. "Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal" adalah judul disertasi SBY. Kegantengan ditambah gelar Doktor diduga menjadi alasan ibu-ibu dalam memilih Beliau dalam pemilihan Presiden di tahun 2004.

Beliau adalah orang yang multi-talent dan senang bekerja (wiki: en,id,de). Buku-buku tentang ekonomi dibuatnya di masa-masa akhir studi Doktoralnya, padahal ia juga harus mempersiapkan kampanye dalam Pemilu dan Pilpres 2004. Ia juga menghasilkan beberapa album musik selama menjabat jadi Presiden.

Album musiknya terkenal hingga Eropa dan Amerika Serikat. Setidak-tidaknya masuk berita di koran-koran sana. Salah seorang kawan perempuan di Belanda, bahkan sampai rela mengunduh semua lagu SBY. Selain itu, lagu-lagu pada albumnya wajib diketahui sebagai pengetahuan umum yang diujikan dalam tes calon pegawai negeri sipil. Rumor yang belum terkonfirmasi mengatakan bahwa albumnya dijual dengan skema multi-level-marketing atau network marketing ala Partai Demokrat eh SBY Fans Club.

Teringat tahun-tahun 2008-2009, SBY Fans Club menyebarkan telik-sandinya ke dunia maya dalam persiapan Pemilu dan Pilpres 2009. Aktivitas online-ku diawasi mereka. Kini di bulan April 2013, SBY Fans Club mencari informasi penting mengenai Susilo Bambang Yudhoyono. Mungkin ini ada hubungannya dengan Pemilu 2014 tahun depan, ketika Partai Demokrat berpartisipasi. Pencarian inilah yang menghasilkan suatu pendaratan di halaman blogku mengenai bahan obrolan dalam perjalanan.

Kusangka SBY Fans Club mencari informasi mengenai thesis Susilo Bambang Yudhoyono. Ternyata bukan. Apakah mereka mencari kumis SBY? Juga bukan, karena SBY tidak berkumis. Walau satu intel yang mengawasiku itu berkumis. Berdasarkan laporan analisis dari SEO, informasi yang mereka cari mengenai SBY terdapat pada gambar berikut.

bukan thesis SBY
bukan thesis SBY

Ternyata fans berat Susilo Bambang Yudhoyono berusaha keras mencariku untuk mendapatkan informasi tersebut. Aku belum tahu siapa mereka. Apakah mereka ibu-ibu yang memilih SBY pada Pilpres 2004 dan 2009? Ataukah Si Intel Kumis? Siapapun mereka, percayalah bahwa informasi pada gambar tersebut tak terlalu penting dalam Pemilu 2014!

Bremen, 12 April 2013

iscab.saptocondro

Selasa, 05 Maret 2013

Beda Bremen dan Bayern Maret 2013

Sesungguhnya negara bagian Bremen dan Bayern itu berbeda. Luasnya berbeda. Bahasa daerahnya beda. Bremen menggunakan Plaatdüütsch, sedangkan Bayern menggunakan bermacam-macam bahasa daerah.

Kali ini, aku membandingkan apa yang dilakukan SEO tentang cerita kehidupanku di Bremen dan di Bayern.  Dua gambar berikut akan menjelaskan informasi apa yang didapat orang ketika aku ingin berkisah tentang masing-masing negara bagian tersebut.

***

bremen-2013-03
Bremen

Ternyata orang Bremen suka makan baso tahu dan siomay yang bertabur tongcai. Mereka senang hal-hal gratis. Bukan hanya buku gratis dari Gramedia, kalau bisa mereka tinggal di apartemen secara gratis.

***

bayern-2013-03
Bayern

Gadis Bayern senang sekali mandi kembang tengah malam di bawah pohon waru doyong. Hal ini dilakukan supaya mereka tetap segar pikirannya ketika mengembangkan embedded system dalam smartphone. Pikiran yang tidak cerah bisa menyebabkan kepala botak, seperti Palbot.

***

Begitulah ulah SEO dalam menganalisa kedua blogku.


Bremen, 5 Maret 2013

iscab.saptocondro
P.S. Ini uji coba IFTTT lagi.

Senin, 04 Maret 2013

Si Kecil terbunuh lalu jadi hantu?

Hari ini, kembali kulihat bagaimana orang mencariku di Google. Gambar berikut menunjukkan...

via iscablr http://iscab.tumblr.com/post/44488997337

Sabtu, 02 Maret 2013

Google membantu mereka yang kesepian

Berbahagialah mereka yang hari ini kesepian, karena Google siap membantu Anda.
Beginilah cara Google merujuk blogku.



Bremen, 1 Maret 2013

Selasa, 05 Februari 2013

Menambah gelar

Perlukah aku menambah gelar?

Gelar S.J. butuh waktu 10 tahun untuk kucapai. Aku harus mengikuti pendidikan filsafat dan teologi. Dikirim tugas, barulah kudapat gelar ini.

Gelar Doktor butuh waktu 4-6 tahun untuk kuraih. Aku harus cari bidang penelitian yang kuinginkan. Cari paper sana-sini. Lalu kalau tidak gila, barulah aku mendapat gelar ini.

Gelar M.B.A. butuh waktu 1-2 tahun kata website universitas. Aku harus kembali jadi mahasiswa lagi dengan tugas dan ujian. Kalau tidak sakit jiwa, barulah kudapat gelar ini.

Gelar almarhum butuh waktu beberapa menit saja. Beberapa bisa juga beberapa milidetik. Nampaknya gelar ini bisa didapat kapan saja. Tapi kupikir lebih baik aku menunda mendapat gelar ini. Aku kan senang menunda-nunda pekerjaan.

Bremen, 4 Februari 2013

iscab.saptocondro

Minggu, 06 Januari 2013

Curhat ciuman dengan mahasiswa ITB dengan make up kuntilanak goyang

Bagaimana cara orang mencari (blog) diriku di internet?
Beginilah caranya.


Informasi yang berguna adalah mengenai biaya hidup di Jerman. Sisanya tidak penting-penting amat. Namun kalau ingin merasakan berciuman dengan lulusan ITB, silahkan saja kontak aku. Semoga yang mengontak bukanlah kuntilanak. Walaupun bisa bergoyang seperti Dewi Persik, aku lebih memilih berciuman dengan wanita biasa yang bukan kuntilanak.
Search Engine Optimization (SEO) nampaknya adalah suatu hal yang absurd. Atau SEO ini mengoptimisasi keabsurdan diriku?
Ah, apa itu optimal?
Mengapa perkalian matriks bisa mengoptimalkan pencarian diriku di internet?
Akupun teringat bahwa aku tidak mengerti sama sekali kuliah kendali optimal di kampus Gajah Tapa di Bandung, namun aku bersyukur mendapat nilai  "Very Good" untuk kuliah ini di Bremen. Seusai kuliah ini pun aku masih belum bisa mengendalikan kehidupanku secara optimal. Kehidupan di dunia nyata maupun maya seharusnya bisa dioptimisasi, kan?
Aku teringat bahwa dalam setiap usaha optimisasi, selalu ada tujuan yang ingin dicapai. Apakah tujuan aku membuat blog? Akupun tak tahu. Kini aku tahu mengapa segenap usaha optimisasi yang dilakukan SEO akan selalu absurd. Seabsurd diriku, Absurdiscab.


Bremen, 6 Januari 2013
iscab.saptocondro  

Lagu untuk Tucuxi

Tucuxi, mengapa malang nasibmu?

Kau mamalia yang senang berenang di Sungai Amazon. Sedangkan kami punya Pesut Mahakam yang senang berenang di Indonesia. Namamu tidak cocok dengan lidah orang Indonesia.

Oh, Tucuxi, mengapa air dari 4 penjuru kota Solo yang dipilih untuk menyirammu?
Engkau kan dari Peru. Kenapa tidak dari penjuru kota Lima aja? Atau dari Sungai Amazon?

Tucuxi, mengapa kamu jadi nama mobil listrik?
Mobil listrik itu jalan di darat, bukan berenang di sungai. Mungkinkah sesungguhnya kau ditakdirkan untuk menyemplung ke sungai?

Tucuxi, di air kaga butuh rem, tapi di darat mobil itu harus punya rem.
Jangan biarkan orang menghinamu, dengan perkataan bahwa sesungguhnya mobil listrik adalah mobil yang remnya tiang listrik, kalau perlu gardu listrik.

Oh, Tucuxi, kau pun remuk redam. Harga milyaran tak mampu membuatmu berhati-hati.
Namun tenang aja Bondan Prakoso akan menghiburmu, wahai mamalia yang suka berenang!


Si Hitam, hey, dari laut Jawa.

 

Bremen, 6 Januari 2012

iscab.saptocondro