Kurenungkan kembali, kalau sewaktu SMA, aku mulai tertarik membaca koran sehingga waktuku untuk membaca buku mulai berkurang. Jadi sebetulnya minat membacaku tidak berkurang. Hanya bacaannya berbeda.
Ketika menjadi mahasiswa di Indonesia, aku juga membeli buku, baik untuk kepentingan kuliah maupun untuk rasa ingin tahu. Buku untuk kepentingan kuliah tidak kubaca tuntas, aku hanya membaca yang penting-penting saja untuk latihan soal dan ujian. Beberapa hal juga tak kumengerti, tapi toh aku bisa lulus kuliah.
Buku-buku untuk kepentingan non akademik juga kubeli. Biasanya aku penasaran dengan suatu buku karena kawan-kawanku mengobrol tentang suatu buku. Jadinya aku (ingin) ikut membaca, supaya "nyambung" kalau kumpul-kumpul. Buku pun kadang kubeli. "Social pressure" ternyata mempengaruhi bacaanku.
Ternyata tidak semua buku yang kubeli bisa tuntas kubaca. Yang tuntas kubaca biasanya buku-buku yang endingnya bikin penasaran atau penuh "element of surprise", misalnya detektif, misteri, thriller, dll. Buku-buku yang bukan novel yang tuntas kubaca, ternyata adalah buku-buku "kiri". Jadi bisa kutebak kira-kira buku apa saja yang bisa menggerakkan gairah membaca.
***
Sesampainya di Jerman, aku jarang membeli buku. Alasannya adalah biaya: harga buku relatif mahal dan buku itu berat (kalau pindah rumah) serta buku menghabiskan ruang rak dan kamar. Membuang buku juga pedih rasanya. Seperti ada sebagian jiwa yang harus dilepas ketika aku harus membuang buku. Biasanya aku meminjam buku ke kawan.
Tidak semua buku yang kupinjam atau kudapat, bisa tuntas kubaca dari awal hingga akhir. Ada yang kukembalikan sebelum selesai kubaca tuntas. Ada yang kubaca loncat-loncat untuk tahu kira-kira isinya apa (speed reading). Kurenungkan kembali, kalau buku yang betul-betul tuntas kubaca biasanya bertema feminisme atau "kiri". Jadi bisa ditebak kira-kira minat bacaku seperti apa.
Karena jarang membeli buku, aku bisa tahu utang membacaku bagaimana. Ada dua buku yang belum tuntas kubaca, yaitu Elizabeth Gilbert "Eat, Pray, Love" dan Rick Warren "The Purpose Driven Life". Keduanya ada di kamarku karena aku betul memiliki keduanya.
Buku Gilbert tersebut kubeli tahun 2012 dan rencananya ingin kubaca sebelum nonton filmnya. Akan tetapi aku tidak tahan dengan ceritanya yang sepertinya bertele-tele. Aku hanya membaca awalnya saja, lalu kubaca loncat-loncat ala speed reading, kemudian aku menonton filmnya. Tanpa membaca tuntas, aku bisa tahu filmnya berbeda apa saja dengan bukunya. Nampaknya kegalauan wanita tidak membuatku tertarik sama sekali.
Buku Warren (berbahasa Indonesia) dihadiahkan oleh kawanku yang pulang ke Indonesia karena studinya di Jerman berakhir. Aku juga menerima versi asli bahasa Inggris yang digital, via email, dari kawan yang lain. Awalnya aku berminat membaca buku ini supaya lebih "religius" juga demi bertobat dari segala macam kegalauan. Akan tetapi, aku tidak tahan membaca buku ini. Baru tiga bab dari 40, yang bisa kubaca. Sepertinya "Tuhan" bukanlah sesuatu yang cocok untukku.
Sedikit tambahan, "Tuhan yang mati" menurut Nietsche juga salah satu yang tidak tuntas kubaca. Bukunya berjudul "Thus Spoke Zarathustra" dan tersimpan di rumah ibuku di Indonesia. Aku hanya sanggup membaca 3 halaman saja. "Tuhan" betul-betul tidak bisa memotivasiku untuk membaca.
Ada satu buku yang kupinjam dari kawanku, yaitu Karen Armstrong "A History of God", atau "Sejarah Tuhan". Buku ini hanya bisa kubaca tiga bab. Lalu aku tidak sanggup lagi. Mungkin ini karena dalam bahasa asli, bahasa Inggris, bukan dari terjemahan bahasa Indonesia. Tapi bisa jadi karena "Tuhan" tak mampu membuatku bergairah membaca.
***
Suatu hari, aku merasakan ranselku terlalu berat kalau harus membawa buku, dalam perjalanan yang harus kutempuh dengan sepeda dan kereta. Aku pun membeli iPad dan membaca buku digital saja. Sebelumnya aku sudah membandingkan tablet apa saja yang cocok untuk membaca buku (dan paper ilmiah) digital. Awalnya aku ingin Android, tapi ukuran di tangan sepertinya tidak pas (dalam volume dan massa). Jadi aku mencoba memilih Apple.
Photo: Membandingkan ukuran tangan, Galaxy Tab 10.5, dan Nexus 9. #galau2015 http://t.co/duqixGROGW— iscab.saptocondro (@saptocondro) 3. Februar 2015
Tujuan awal memiliki iPad adalah supaya aku tidak merasakan tas yang membengkak dan juga berat akibat berlembar paper dan buku. Dua tas sudah jebol selama menjadi mahasiswa doktoral. Akan tetapi, aku sempat mengalami eforia iPad. Alat ini kupakai untuk social media secara berlebihan. Di masa-masa galau riset, aku bahkan sharing berlebihan. Hingga beberapa kawan Jerman meng-unfriend diriku.
Akankah memiliki tablet bisa meningkatkan produktivitasku? http://t.co/rR8cY187UK— iscab.saptocondro (@saptocondro) 3. Februar 2015
Kini kusadari kalau aku memiliki minat membaca akan informasi "kekinian", yang sering tampil di social media. Tidak lupa kubagi kemudian. Minatku membaca buku, jadi teralihkan ke bacaan singkat dan semi singkat yang terunggah dan terbagi di social media. Sialnya, aku memiliki banyak kawan online, jadi bahan bacaanku terlampau banyak untuk bisa kubaca tuntas.
Aku pun merenungkan, kalau setiap ada postingan tentang suatu hal yang bisa kubaca, aku bertanya terlebih dahulu: apakah bacaan ini berguna untukku saat ini, apakah mengganggu waktuku dalam Dharmaku, apakah kalau membaca ini akan menjadi manusia tercerahkan, apakah ada yang mati kalau aku tidak membaca ini, apakah ada yang gawat dengan kerjaanku kalau aku tidak membaca ini, dll. Jadi aku hanya membaca seperlunya saja.
***
Awal memiliki iPad, aku bertujuan membaca paper ilmiah dan buku-buku yang berhubungan dengan risetku. Akan tetapi aku malah membaca Harry Potter. Sejak iPad kupakai membaca selama perjalananku di kereta, aku sudah menyelesaikan tiga buku Harry Potter. Sedangkan buku-buku ketuhanan dan curhat wanita galau "Eat, Pray, Love" hingga kini belum kuselesaikan. Kini kusadari minatku seperti apa.
OK, aku juga menggunakan iPad untuk membaca Kitab Suci. Ada bacaan harian dari kalender liturgi Katolik dari suatu aplikasi. Awalnya aku mencoba mengunduh aplikasi Alkitab yang sama dengan yang di Android, tapi tidak ada di Apple Store. Aku pun mencari padanan yang mirip. Aku menemukan aplikasi Alkitab yang tampilan dan navigasinya tidak terlalu asyik. Tapi ketika aku lihat bacaan hariannya sama dengan kalender liturgi Katolik, aku pun tertarik. Bacaan harian ini tidak terlalu pendek dan tidak terlalu panjang. Aku pun mempertahankan aplikasi ini di iPad. Perjalanan keretaku kuisi dengan membaca bacaan harian ini.
Tapi kusadari bahwa aku tidak mungkin tuntas membaca Alkitab. Bacaan harian untuk umat itu ayat-ayat yang dipilih otoritas gereja. Ada beberapa hal yang tidak masuk bacaan harian. Beberapa ayat tidak cocok untuk anak bawah umur dan juga kadang tak terlalu berhubungan dengan doktrin gereja yang sehari-hari biasa ditanamkan kepada umat. Jika ingin membaca tuntas, harus mencoba baca sendiri dari awal hingga akhir, tanpa tuntunan bacaan harian.
Oh, ya, aku juga punya aplikasi Al Quran. Secara teoretis, kalau orang membaca 1 juz per hari, dia akan tamat membaca Al Quran dalam 30 hari. Sebulan bisa tuntas. Itu kalau niat membaca. Akan tetapi aku tidak minat membaca tuntas seperti ini. Belum dapat hidayah.
***
Kini kusadari bagaimana minatku dalam membaca. Aku hanya mampu menuntaskan suatu buku dari awal hingga akhir jika aku termotivasi oleh "element of surprise". Hanya buku-buku dengan tema perjuangan manusia untuk melawan penindasan atau dalam menguak suatu misteri, yang bisa memotivasiku untuk membaca tuntas. Makanya buku-buku "kiri" dan feminis bisa selesai kubaca. Juga buku detektif dan Harry Potter bisa kubaca tuntas dengan lancar.
Bacaan ketuhanan yang kuminati ternyata hanya yang sesuai dengan identitasku, yang Katolik. Aku lebih suka membaca Kitab Suci daripada interpretasi manusia akan Kitab Suci. Ada suatu misteri yang membuatku merenung. Aku memiliki ruang interpretasi yang lebih luas ketika membaca ayat-ayat, daripada membaca buku-buku karangan orang tentang ayat-ayat Kitab Suci dan tentang Tuhan. Tapi di sisi lain, aku hanya berminat membaca bacaan harian yang disodorkan oleh otoritas Gereja Katolik Roma. Aku termotivasi menuntaskan bacaan harian kalau aku yakin itu sesuai flow kalender liturgi dari gereja yang aku percaya.
Kini aku pun berpikir, paper-paper ilmiah apa saja yang tuntas kubaca.
Selamat membaca!
Habisi!
Oldenburg, 21 April 2016
iscab.saptocondro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar